Pelajaran Berharga dari Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin: Salafi di Satu Sisi Tapi Mubtadi di Sisi yang Lain?
Istilah salafi atau pengikut generasi salaf yaitu para sahabat adalah istilah yang besar dan penuh dengan makna. Demikian juga istilah mubtadi’ atau ahli bid’ah, ia bukan istilah yang bisa diobral ke sembarang orang hanya gara-gara tidak satu kelompok pengajian atau tidak satu ustadz atau bahkan gara-gara tidak satu organisasi. Sebagian orang begitu mudah mengatakan secara mutlak bahwa si fulan adalah mubtadi’ atau si fulan bukan salafi hanya gara-gara dia melihatnya tidak ikut bersama pengajian yang dia ikuti, atau hanya gara-gara kesalahan fikih yang tidak sampai mengeluarkan dari manhaj salaf.
Namun di sisi lain ada juga orang yang terlalu mudah mengatakan bahwa si fulan itu salafi hanya gara-gara pernah ikut satu organisasi dakwah dengannya. Oleh sebab itu dalam masalah ini kita patut berhati-hati. Apalagi gara-gara mengobral istilah-istilah ini tidak pada tempatnya akhirnya membuahkan kekacauan di tengah kaum muslimin terutama di kalangan sesama da’i dan penuntut ilmu. Untuk lebih jelasnya silakan renungkan ucapan Syaikh Utsaimin ketika menjelaskan keadaan orang yang menyimpang dalam hal asma’ wa shifat berikut ini.
Beliau rahimahullah mengatakan, “Dengan demikian maka (kita katakan bahwasanya) seluruh ahli bid’ah dalam perkara asma’ wa shifat yang menyimpang dari pemahaman salafush shalih sebenarnya mereka itu belum merealisasikan keimanan mereka kepada Allah dengan baik. Satu hal diantara empat hal tadi (empat kandungan iman kepada Allah yaitu; iman kepada wujud-Nya, uluhiyah-Nya, rububiyah-Nya dan asma’ wa shifat-Nya, pent) yang tidak mereka punyai adalah bagian keempat; yaitu beriman dengan benar terhadap nama-nama dan sifat-sifat Allah, karena mereka itu tidak merealisasikan keimanan kepada-Nya dalam hal ini.
Mereka itu bersalah dan menyelisihi jalan kaum salaf. Jalan yang mereka tempuh itu tidak syak lagi memang sesat. Akan tetapi tidak secara langsung orang yang meyakininya bisa dicap sebagai orang sesat sampai hujjah ditegakkan kepadanya, dan ternyata dia masih bersikeras mempertahankan kesalahan dan kesesatannya maka dia adalah seorang mubtadi’ (ahli bid’ah) dalam masalah yang bertentangan dengan kebenaran itu meskipun dia adalah seorang salafi dalam masalah yang lain. Oleh sebab itu tidak boleh dia digelari sebagai mubtadi’ secara mutlak, dan juga tidak boleh dia digelari sebagai seorang salafi secara mutlak. Akan tetapi boleh dikatakan bahwasanya dia itu salafi dalam masalah-masalah yang dia bersesuaian dengan salaf dan dia juga seorang mubtadi’ dalam masalah-masalah yang dia selisihi dari kaum salaf.” (Syarah Arba’in, hal. 36)
Nah, dari sepenggal pemaparan dari beliau ini maka sudah semestinya para penuntut ilmu atau bahkan para da’i menjaga lisan mereka untuk tidak mudah-mudah mencap kelompok ini atau orang itu bukan salafi atau bahkan berani menyatakan dia sebagai ahli bid’ah sementara hujjah belum ditegakkan kepadanya. Sekali lagi perlu kita ingatkan perkara yang sangat penting ini karena pada asalnya hukum seorang muslim itu adalah selamat aqidah dan manhajnya sampai tampak ada indikasi jelas penyimpangannya dari manhaj salaf (silakan baca Mujmal Ushul Ahlis Sunnah karya Syaikh Dr. Nashir bin Abdul Karim Al ‘Aql).
Dan sebagaimana kita ketahui bersama berdasarkan dalil-dalil yang ada bahwa kebanyakan orang itu dihinggapi penyakit tidak tahu alias jahil. Lalu apakah yang sudah kita lakukan untuk mengikis kejahilan diri kita dan juga mereka? Cobalah kita bandingkan dengan gelar-gelar mengerikan yang mungkin pernah kita sematkan pada wajah-wajah saudara kita sesama ahlus sunnah? Atau barangkali kita lah yang salah paham sedangkan saudara kita lah yang benar. Duhai adakah orang yang mau mengambil pelajaran? Wallahul muwaffiq.
***
Disusun oleh: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Artikel www.muslim.or.id
🔍 Arti Salamun Alaikum, Uban Rambut Dalam Islam, Cara Berdoa Kepada Allah, Arti Lailahaillallah Muhammadarrasulullah